Pendidikan Tinggi Tak Sekadar Gelar
Juneman Abraham, ahli psikologi korupsi yang menekuni kajian Korupsi Ilmu/Korupsi Akademik, menyatakan, sanksi bagi kecurangan akademik tergantung pada kebijakan holistik pada masing-masing lembaga.
Lembaga yang menerapkan "Toleransi Nol" terhadap pelanggaran integritas akademik memiliki otonomi untuk memberikan langsung sanksi berat tanpa mempertimbangkan parameter apa pun.
Ada preseden di Tsinghua University yakni kasus mahasiswa yang terbukti melakukan fabrikasi dikenakan sanksi tegas. Mahasiswa bersangkutan berupa tidak memperoleh gelarnya, karya ilmiahnya yang diterbitkan di jurnal harus dicabut (retraksi), dan pihak yang membimbing dipecat dari posisi struktural di universitas.
Terkait dugaan kecurangan akademik dalam pembuatan karya ilmiah, pemerintah mempunyai rumusan di Anjungan Integritas Akademik Indonesia (ANJANI). Pada ANJANI, ada lima parameter sanksi yakni riwayat penyimpangan, jenjang pendidikan dan jabatan fungsional, jenis tugas, intensi kecurangan, dan konsekuensi penyimpangan.
Sanksi diberikan sesuai kadar pelanggaran dan tergantung parameter pemberat maupun peringan. Jika pelaku pelanggaran memiliki jenjang pendidikan tinggi dan dampak misconduct-nya luas (dampak faktual dan potensial) seperti pada kebijakan, sanksi makin berat, yaitu dikeluarkan. Jika ijazahnya sudah diperoleh, maka dicabut dan gelarnya dibatalkan.
Juneman menegaskan, revisi karya dalam konteks ini bukan sanksi. Bahkan setelah versi final, naskah bisa direvisi berupa corrigendum (koreksi), atau direvisi pascapublikasi dan makin diperbaiki dalam arti "dibantah atau diluruskan dengan riset lanjutan" agar sains makin akurat ke depan.
Menurut Juneman, jika ada pencatutan nama responden sebagai sumber data riset, dua pelanggaran integritas pertama yang dapat terjadi yakni berupa fabrikasi dan atau falsifikasi (falsification).
Fabrikasi adalah "mengada-ada, mengarang-ngarang"; seolah telah mengambil data riset, padahal peristiwa itu tak terjadi secara faktual. Jika ada peristiwanya (misal ada wawancara), tapi konteksnya yang diteliti tak tahu (tak memberi persetujuan) dirinya diambil data, maka mahasiswa atau peneliti bersangkutan telah "mengarang-ngarang".
Adapun falsifikasi adalah "menyimpangkan, memanipulasi", termasuk memanipulasi tafsir atau interpretasi data yang didapat. Jadi seolah-olah datanya mengindikasikan atau mengatakan X, padahal bukan. Misalnya, makna sebenarnya adalah Y, bukan X.
Pelanggaran ketiga, selain fabrikasi dan falsifikasi adalah plagiarisme, lebih khusus "Reverse Plagiarism". Istilah ini belum populer di Indonesia, tapi terindentifikasi dalam kajian palgiarisme. Ringkasnya, Plagiarisme Terbalik adalah memberi kredit atau atribusi pada seseorang atas pernyataan yang tak pernah dinyatakan orang itu.
Jika hal itu dilakukan melalui "jembatan" orang lain, maka dinilai meng-"outsourcing" atau subkontrak pekerjaan substansial dalam proses riset pada pihak lain dan tak mengakui "siapa melakukan apa" dari karyanya. Istilahnya contract cheating, atau dikenal sebagai perjokian.
Sumber: Mengejar Pendidikan Tinggi Tak Sekadar Mendapat Gelar - Kompas.id (9 Maret 2025), https://www.kompas.id/artikel/mengejar-pendidikan-tinggi-yang-seharsunya-melampaui-sekadar-gelar