<p dir="ltr">Waduk Riam Kanan merupakan kawasan perairan strategis di Provinsi Kalimantan Selatan yang berfungsi ganda sebagai sumber daya konservasi, perikanan, pariwisata, dan penyedia air baku. Aktivitas masyarakat di sekitar waduk mencakup budidaya ikan melalui keramba jaring apung, wisata alam konservasi, serta kegiatan memancing rekreasi. Namun, fakta empiris menunjukkan berbagai persoalan hukum dan ekologis, antara lain: penggunaan alat tangkap ilegal berupa setrum, pukat harimau, dan zat beracun seperti <i>putas dan tuba</i>; praktik pemancingan tanpa mekanisme retribusi khusus; keberadaan sistem retribusi ganda (Rp2.000 resmi di pintu masuk oleh Dinas Pariwisata, serta Rp5.000 parkir swadaya masyarakat); serta ketiadaan pengawasan keselamatan transportasi air bagi pemancing yang diangkut kapal dari Pelabuhan Tiwingan Lama. Kondisi ini berimplikasi pada berkurangnya hasil tangkapan, menurunnya minat wisatawan, dan berpotensi mengurangi pendapatan daerah.Dari aspek hukum, Waduk Riam Kanan berada dalam kawasan konservasi hutan (Tahura Sultan Adam) berdasarkan UU Kehutanan dan UU Konservasi, yang dikelola oleh UPT Tahura Dinas Kehutanan. Namun, aspek pengawasan perikanan tidak dijalankan secara optimal oleh Dinas Perikanan Provinsi. Padahal, menurut penelitian, aktivitas keramba telah mempengaruhi kualitas air, produktivitas primer perairan, serta mendekati daya dukung ekologis. Distribusi ikan pun menunjukkan indikasi penurunan kelimpahan.Artikel ini menganalisis kerangka hukum nasional, serta potensi kelembagaan daerah melalui kerjasama Dinas Kehutanan (UPT Tahura) dengan Dinas Perikanan. Metode penelitian normatif-empiris digunakan dengan pendekatan lapangan di Tiwingan Lama, wawancara masyarakat, serta analisis literatur. Hasilnya merekomendasikan pembentukan pos pengawasan terpadu dengan melibatkan pemerintah daerah, UPT Tahura, Dinas Perikanan, serta swadaya masyarakat, guna mewujudkan tata kelola perikanan yang adil, aman, dan berkelanjutan.</p>